Jumat, 22 Juni 2012

Fragment Episode Senjakala

“Keingkaran Sebuah Janji Dewi
dan Balada sebuah pengorbanan besar Ibu”
[dari kisah khayal penulis,sebenar benar khayal]

Umbaran
Setaaannnn trembelaneee……!!! Umbaran masih menghamburkan makian
panjang pendek dengan menahan amarah yang sampai keubun ubun. Bagaimana mungkin angan yang terajut beberapa hari ini sirna begitu saja oleh sebuah janji?
“Anjing kudisss wong ayu wong ayuuu!?!?!!meski kau sudah ingkar masih saja tetap ayuuu huh!!!oleh desakan emosi hingga mulutnya menggelembung laksana gunung berapi hendak mengeluarkan lahar amarah. Pastinya antara amarah dan rasa cinta masih berimbang kalau tidak mau dibilang cinta buta,ini yang berulah si cantik Kencono Wungu coba orang lain sudah kubikin ancur macam Mercuet yang habis berkeping kematian manusia sakti itu. Seantaro negri [bahkan sampai manca negri ] tahu akan kesaktian Umbaran yang luar biasa dan seantaro negri [bahkan sampai manca negri ] tahu akan kecantikan Kencono Ungu yang luar biasa.

Pamit Bunda.
Lelaki gagah tegap berambut tebal panjang sedikit berombak dengan mata tajam menatap kedepan berjalan agung berkah Dewa Dewa jelas terpancar pada langkah langkahnya,segalanya sudah lengkap saat diurapi restu Bunda untuk maju kemedan laga menumpas satru negri.
“berangkat le saat kokok ayam yang pertama! jemput bapamu mentari digerbang desa mintalah kekuatan! namun jangan lupa ciumlah punggung tangannya,ingat jangan sampai keduluan yang lain!!!”Bunda berpesan dengan tutur lembut yang tertahan akibat dari kekurang iklasankah?ditinggal putra terkasih?!?.
“baik Bunda,ananda esok berangkat”penuh santun duduk menunduk bertutur tak kalah halus pelan bagai berbisik
“satu lagi Umbaran,saat kau keluar pintu rumahmu janganlah menengok kebelakang satukan tekad mata hati pikiran jangan cengeng le,jangan merintih pada siapapun kecuali pada Gustimu,jangan menyesali segala keputusan”setelah disahut dengan anggukan yang sangat pelan Bunda mengakhiri pesan pesan yang penuh dengan kalimat “jangan”.
Bertelanjang dada tidur dilantai belakang pintu depan,berikutnya Bunda melompati sebanyak tujuh kali dengan mantra mantra terus keluar dari bibir. Pada lompatan ketujuh Bunda langsung melangkah memasuki bilik kecil dibelakang rumah yang terbiasa disebut sanggar pamujan sambil senantiasa menggumamkan mantra mantra untuk mengambil posisi duduk bersimpuh berpejam mata sangat kusu’,pada hati kecilnya Bunda berjanji akan menyudahi semadi nanti saat putra tercinta pulang membawa kemenangan,atau takan pernah beranjak hingga mati andai putra gagal mendapat janji!,atau sekalian moksa sebagai tumbal cita cita nanda! [apa itu tanda dari keraguanku?]
Begitulah pagi buta bergegas mandi bersuci beruap bunga warni warna yang diambil dari sanggar pamujan pasti sudah memuat sgala japa mantra Bunda. Terasa aroma kesejukan menisik nisik sekujur tubuh hingga segar mempertebal keyakinan. Segala beres sudah, berbekal sgala doa doa Bunda berangkat melangkah agar tidak ketinggalan bapa mentari dipintu gerbang desa tak lupa sebelumnya meraup tanah Halaman rumah agar kampung halamannyapun merestui harapan lamunan;kedudukan serta si cantik Kencono ungu [betapa wangi gadis ranum molek…tak sabar rasanya mendapati malam pertama dari bidadari…wangi keringat..desah merdu suara saat kau memanggilku Kangmas…..Kencono ?].


Langkah mimpi
Tangan kukuhnya meraba gagang pedang sang guru dipinggang seolah meyakinkan diri bahwa tidak ketinggalan dengan wajah tetap menatap tajam lurus kedepan melihat harapan.Masih teringat mimpi malam terakhir sebelum pamit,Kencono Ungu…….ya..ya wong ayu wong ayu tunggulah Kakang segera datang memberantas perusuh yang merisaukan hatimu.

Kencono Ungu
Gambaran gundah sebentar duduk lalu bangun kemudian duduk lagi…bangun..duduk..kentara sangat gelisahnya!
“Gerangan apa jalan yang harus aku ambil untuk menolak Umbaran…..???
Dimainkannya jemari jemari lentik itu pertanda gelisah yang dalam.
“Patih bagaimana ini? Dengan masih berdiri namun tanpa menghadapkan mukanya kepada Sang Patih sementara yang ditanyapun seperti tidak siap menerima pertanyaan atau tepatnya berharap agar pertanyaan tersebut tidak buat dirinya.
“Patih…Patih Paman patih!?”setengah bertanya dengan nada yang agak berat merisau.
“ya…yaa..ya..sahaya Dewi”menghatur sembah tergagap gugup.
“bagaimana paman?”
“ampuni sahaya Dewi,ampuni sahaya Dewi sungguh! jujur paman akui paman tidak berwenang menentukan jawaban…ampuni paman Dewi ampuni sahaya”tanpa berani menengadahkan wajah sementara tetap melakukan sembah.
“paman ! paman bagaimana ini aku yang bertanya paman! Bukan untuk menentukan jawaban dari paman? Sepeninggal Ayahda yang bertapa bukankah Paman sekarang yang tertua dikerajaan ini?! Iyakan paman? Kemudian apa pesan Ayahnda ketika Beliau lengser keprabon berangkat menuju pertapaan kepada paman?!? Ingatkah pesan beliau paman ? begitukah cara orang yang dipercaya ayahanda?” Laksana air bah berondongan pertanyaan yang serasa sebuah godam menghujam persis dikepala.bernada memojokan.
“pamannn..paman bicaralah paman dari hati paman,usah merisau”dengan sedikit kelembutan Kencono Ungu mendekati Patih.
“ampuni sahaya Dewi ampuni paman”
“ya paman,paman senantiasa kuampuni,sekarang bicaralah! Apa usul paman?”
“baik Dewi,mohon ampun”sang paman tetap mengangkat sembah namun tetap terlihat menanggung beban berat didada.
“Paman pikir apapun yang terjadi Dewi sudah bertitah…maka Dewi mesti menepati janji,Dewi mesti menerima Umbaran siapapun seperti apapun dia sesuai dengan janji Sang Dewi,janji ratu,..ampuni sahaya Dewi dulu Dewi berjanji…..” meski terlihat agak ragu Sang Patih menuturkan kisah sayembara siapapun yang mengalahkan kebo marcuet diangkat jadi pahlawan serta berhak atas tahta Negara juga bersanding dipelaminan dengan sri ratu sendiri.
Semua hadirin melepas nafas panjang tanpa ada yang berani bersuara.
Hening seketika pertemuan
………………………………………………………
Kencono Ungu diam mematung menatap kosong.
…………………………………………………………….
“ahhh begitu paman???” masih bertanya meyakinkan setengah bergumam.
“ampuni sahaya Dewi ampuni paman”
“iya paman tidak mengapa………………………………..
Tapi bukankah Umbaran telah membuat huru hara merusak rumah rumah,…. “
“benar Dewi,itu memang salah Umbaran,tapi semua orang tahu Umbaran berbuat begitu karena dia menuntut janji Dewi,dia meminta haknya setelah kewajibannya dia penuhi,begitu Dewi,ampuni paman”
“ya paman benar tapi aku tidak menyuruh paman untuk membela umbaran paman?!?”
“ampun beribu ampun Dewi” sebagaian besar hadirin tegang menahan gumpalan beban.
“sekarang aku bertanya pada semua yang ada disini,siapa yang membenarkan tingkah umbaran? Apa benar dia adalah pahlawan, orang yang telah membuat kerusuhan suatu negeri?!?”
…………………………………………………………
………………………………………………………….
“apa tidak ada yang mendengarkan suaraku?”
…………………………………………………
“apa kurang keras suaraku! Bukankah ini balaiurang? tempat segala rapat pembesar negri ini selama ini?….apa semua pembesar negri sudah kehilangan pendengaran?!!”
……………atau sudah kehilangan lidahhhh?”
“baik,sekarang siapa yang membenarkan paman patih!!!”
…………………………………………………….
“baik tidak ada yang membenarkan paman patih ternyata,jadi sudah jelas paman patih ternyata jabatan patih mungkin terlalu berat bagimu” Kencono Ungu tanpa sadar telah menekankan kata mu sebuah kata yang selama ini tidak pernah dilontarkan untuk menyebut patihnya.
“ampuni sahaya Dewi”tetap menunduk kelu
“iya, paman Dewi maafkan,tapi paman kedudukan patih bukanlah untuk membenarkan satru negri namun lebih tepat untuk membela negrinya, ratunya junjungannya!!!”
“ampun Dewi paman tahu itu,ampuni sahaya Dewi”
“…dan kedudukan patih sangatlah banyak yang mengincar….”
“ampunnn Dewi..ampuni sahaya”
“…dan ternyata banyak yang lebih pantas dari paman….!!”
“sementara ternyata paman tahu bahwa patih adalah untuk membela ratunya,ini lebih berat hukumanya paman,akan tetapi mengingat begitu banyak jasa paman,maka semua itu Dewi maafkan…”
“mohon ampun Dewi,banyak terimakasih paman pada Dewi…”
“ya paman,untuk itu paman,paman tidak Dewi penjarakan selayaknya penjahat,begundal,satru perusuh negeri….puas engkau paman…???”
“ampun Dewi,beribu terimakasih paman haturkan…”
“ya paman.sekarang segera tinggalkan ruangan ini,pulanglah paman kekepatihan temui nyai patih yang sudah merindukan paman karena bukankah paman sudah satu purnama tidak pulang mengingat tugas Negara yang sangat banyak?”
“baik Dewi paman haturkan segala terimakasih”
“dan sampaikan salamku untuk nyai patih ya paman”
“sahaya sampaikan dewi”
“bersama pula pesanku segeralah paman mengajak nyai patih meninggalkan kepatihan juga negri ini..” Kencono Ungupun duduk dan tetap berwajah dingin tegang datar..
“…Dewi…benarkah ini Dewi…? Apa paman tak terampuni Dewi?”
“semuanya sudah jelas paman….”
“paman boleh meninggalkan jabatan ini atau istana kepatihan..namun paman lahir disini,ini negri paman Dewi….? Kemana paman akan pergi?
“itu masalah paman….”
“..Dewi kau boleh mencopot segala kedudukan paman?tapi kalu kau usir paman?paman akan kemana Dewi?!?”
“datanglah ke Umbaran…”
“Dewi,….”
“pergilah paman sebelum Dewi berubah pikiran…silahkan paman…”
“baik Dewi mohon ampun,titip negri ini Dewi………
Titah Dewi sahaya jalankan”

Matahari Tenggelam
Setelah mendung menggelayuti pokok tumbuhan kemudian punggung awan letih hingga menyiramkan semua keletihan mencumbu bumi.
Ki Patih [kini bukan patih lagi] berjalan lesu ditemani kesetiaan Nyai patih [juga bukan nyai patih lagi] meninggalkan kerajaan yang selama ini telah memberikan kebesaran serta kemewahan,melangkah bergandeng kadang berhenti sesaat seakan tak percaya apa yang telah terjadi.Membatin berbicara menyalahkan diri bergumam ….menyumpah badan sialnya
“Kencono Ungu tega kau pada paman sendiri setelah semua kubaktikan pada negeri….”
Keyakinannya telah bulat menyepi kepegunungan membuat pesanggrahan memuja kebesaran Tuhan yang terlupakan.
Kadang terbungkuk kadang merunduk menyingkirkan ranting penghalang jalan.
‘ayo nyai kita berjalan lagi,sini nyai pelan pelan aku gandeng”
“ya pelanlah lagi jalanmu kaki,huh beginilah langkah langkah tua kita tak bisa cepat digerogoti keriput juga tenaga tua telah habis,tunggu aku kaki,aduhh terjal nian sih kaki…oh Allah gusti dosa apa yang kusandang…”
“nyai nyebut nyai jangan mengeluh begitu,pasti semua ini sudah dalam garisnya sabar nyai sing sabar…..ya…sabar…”
“ahhh sabar kaki sabarrr,awas ati ati ki awas ki…pelan ki itu ki li….cinnn”
“nyai….nyai…ahhh to…tol….”

Lingsir Waktu
Kencono Ungu terjaga dari mimpi buruk beserta sengalan nafas memburu tarikan tarikan tersengal tanpa aturan.
“Umbaran …apapun tuntutanmu semua kuturuti hanya yang satu?uh aku Ratu…Umbaran tak mungkin punya pendamping sepertimu….yang ohhhh.”
Diambilnya segelas air putih dari teko kemilau bersinar putih keperakan,setelah beberapa tegukan maka lepaslah sedikit beban.
“Dulu Marcuet sangat sakti kupikir tak ada yang bisa menandingi namun kenyataannya kau bisa mengalahkan….?”
Diteguk beberapakali lagi air putih yang saat itu terasa begitu segarnya.
“lalu kaupun menagih janji oh Umbaran Umbaran,ya Marcuet ada tandingannya Kaupun pasti ada tandingannya Umbaran Umbaran tunggulah” Pecah sudah satu masalah.
Dan Kencono Ungupun kembali menaiki ranjang gadingnya. Sebat terampil semua dayang dayang segera mengipasi dengan irama yang sudah sangat terlatih,segera Kencono Ungu kembali mendapati tidurnya lelap lelap sementara kain yang menutup jenjang kakinya sedikit tersibak membuat indah pemandangan apalagi dengan leher jenjangnya turun sedikit kebawah gunung padat kembar tertutup kain hijau pupus berdenyut memancarkan pesona mistis purbawi wanita matang dan siap dibuahi….indah cantik erotis menyimpan bara yang tiap saat tiap waktu bisa menyala panasss.

Layung Sendjakala
Makian Umbaran terus panjang pendek makian tak berdaya seorang pahlawan patah hati “Kencono Ungu uffhh kenapa kau bohong?Bunda Bunda masihkah semedimu?Romo roomo dimana japa keramatmu ”
Penuh geram laki laki itu menyumpah serapah merusak segala rupa didepanya menghancurkan semua rintangan penghalang namun kini dengan langkah tertatih kerna ulah Mercuet menghancurkan sebelah kaki, merincau lewat suara sengau akibat hidungnya hampir rata menempel wajah …..juga matanya..matanya…!...Ya Jagat ya Dewa! manusia ataukah setan menampakan diri dia? [meski kemenangan digapai atas musuh tapi bekas dari peperangan telah merampas semua ketampanan]
Dilain tempat pada waktu bersamaan disebuah desa hijau rimbun terdapat sebuah rumah mungil yang memencil masuk agak dalam ketengah hutan dengan sebuah jalan setapak tempat para petani penduduk sekitar lewat sebagai jalan pintas menuju hutan.
“ Kelihatannya si empunya rumah adalah golongan Brahmana atau Resi Suci atau sebangsanya yang begitu” gumam pelintas asing kebetulan baru pernah melewati rumah kecil namun asri tersebut.
“tanda tandanya jelas…tempat air untuk bersuci dipojok depan rumah nampan sesaji beraneka bunga terdapat tak jauh dari situ namun sepertinya bunga tersebut sudah mengering….?...dan darimana bau yang sangat menusuk ini….? Mengapa seperti bau……?”

Agung Raya 05 Juli 05
pukul 00 49 wib dini hari
"whS"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar