Selasa, 10 Januari 2012

Anak Kecil Di Ujung Gang


"anak kecil di ujung gang"
: dialog antara aku, kau, dia dan entah siapa

berteman lamunan berteman kegetiran...

duduk menatap kagum,melongo.
lidah terjulur, meneteskan liur bak meihat makanan enak kala lapar melanda
tampak di depanya anak umur sebaya dengan seragam sekolah
bergerombol lewat persis di mukanya,paras paras itu segar ceria canda...
[hei ga boleh tanya soal sekolah kata mak !...]
termos bekal makanan nampak bagus bergambar kartun warna warni,hijau,pink...aihhhh
[pasti makanan enak enak didalamnya,seketika air liurnya terbit...]

kuap mulut tak henti henti
semalam hujan deras,rumah gubuknya bocor disana sini
menjadikan tidurpun sangat kurang
["aduhhh laparnya perutku tuan",bisik hati kecilnya]

tak sempat lagi bermanja oleh sakit kepalanya
meski badan ingin bersandar tau tiduran
[ooo rasa sakit enyahlah...]

sarapan? oh bukan!
makan siang sekaligus sarapan untuk makan malam...
adakah? ini kecrekan ditangan jawabanya!

melipat mimpi melipat derita esok pula masihkah ada tarikan nafas
[demi waktu yang bergulir]

anak kecil diujung gang melihat upacara dipelataran sekolah,mengintip dari sebalik terali, bendera dikibarkan,pelan pelan naik ke angkasa. khidmat menyanyikan lagu Indonesia Raya. tak kalah semangat kau nyanyikan lagu wajib dengan meraba raba...mengikuti saja, dan bersuara lantang tiap penghabisan lagu. disekanya peluh,disekanya dada yang berdebar gemuruh
[ah benar juga kau adalah anak anak negara....]


melangkah kecil mengetuk pintu pintu. tersaruk ujung jempol mengena batu jalanan...berdarah...
[teringat nyanyian yang memberi keharuan entah apa...]
diremang keniscayaan hidup, rambut merah pucat menyimpan kerikil, betapa nyeri
[apakah hidup meniti jalan berduri daki daki?]
trotoar pojok pasar panas dan berdebu, sumpah serapah memamah biak. lalat lalat hijau berkerumun ditiap genangan busuk sampah. harinya kusut. jantungnya mungkin keropos dimakan polusi...anak kecil diujung waktu. bermodal kecrekan ditangan kecilnya melawan arus gelombang, terbentur bentur karang, muram masamu, buram detikmu. hingga datang sebuah tanya:
"apakah hidup? begitukah hidup?"
ketika malam berlindung dari dingin kelam, berteduh di bawah gubuk dengan atap selembar bekas poster besar pemilu sebuah partai besar, bergambar lelaki perempuan bersenyum cerah, disana tertulis "pembela rakyat jelata"
["inikah yang kau janjikan?"]

[Tuhan berikan makan untuku kini,saat ini bukan nanti atau esok, aku lapar,kalau aku kenyang kan aku bisa melangkah kuat, untuk ikut berjejal di bus kota, memohon sekedar belas, dan aku bisa membantu Mak mencari makan, adiku makan, dengan kecrekan ini, iya kecrekan buatan Mak ku ini, tapi ya Tuhan si Panjul bergitar dan wajahnya sangar itu suka melarangku bahkan di dorongnya aku, dirampas juga uangku, nah ini waktunya si jelek itu datang, maaf aku mengatainya jelek ya Tuhan karena selain jelek ia jahat, saatnya aku lari kini Ya Tuhan, semoga panjul jelek ga melihatku, tutupi aku Tuhan]

barisan kaum tak beruntung, mereka di ujung ujung kegelapan, di trotoar, di gubuk gubuk liar, di bawah jembatan, di kekalahan kekalahan, meratap tanpa airmata lagi, berteman kepahitan.
bersambung:...


...di pojok lain aku berdiri, si lelaki kecil berkacamata dan hanya bisa berkata kata
ada linang dimataku kini...


@Pasar Senen 18 januari 2001


"anak kecil di ujung gang 2"
: dialog antara aku, kau, dia dan entah siapa

: tetaplah engkau bermimpi, sebab mimpi memerdekakan jiwa

anak kecil di ujung gang
mendengar nyanyian kepahlawanan
seakan esok akan ada mutiara berbinar
kemilau dari lubuk nurani
[ ada nyala lilin di matanya...]

anak kecil di ujung kepekatan
gelap menengadahkan tangan,
menangkap kekosongan
di bukit bukit nan gersang
di belainya kemiskinan nan papa di telanya aroma pahit mencekik
[ o, bara api, bara api kehidupan menyalalah terang]
...pada hujan ia mengadu tentang angan,
pada mentari ia menyapa girang"aku hidup!" jeritnya

mata api, jendela jendela terulur tangan meninggalkan receh suap makan
[sedikit saja tuan, sedikit saja, bagi rezeqimu untuku jua]
deru sedan tak kentara suaranya
bis kota membelah jalan raya meninggalkan asap tebal

sanggupkah ia melawan badai
sedang tamengnya jemari rapuh?
[oh anak anak negara? ah ya kau anak anak negara?
tapi dimana bapakmu? mestinya ia mencarikan makan untukmu!]

ia terus berjalan
menyusuri waktu hari dan catatan
ia terus melangkah
di lawanya kepahitan serta gulita
ia terus melaju
menenteng perih juga pilu
[tak bersedih tak berkata kata...ia tahu itu sia sia...]
ia terus berjuang...untuk makan saat ini
entah sampai kapan
[dan kebodohan menyempurnakan derita kemiskinan]
...di pojok lain aku berdiri, si lelaki kecil berkacamata dan hanya bisa berkata kata
ada linang dimataku kini...
menatap ujung kelam sebuah gang

demi melihat anak kecil menangis memegang kecrekan di tangan mungkin dituntun oleh kakaknya tampak kelaparan ia,
"de makanlah ini ayo makan...dari siapa? ah ini nasi dari Tuhan pasti! tak ada manusia yang bisa mencipta nasi bukan"


Di Sebuah Senja Yang Tempias
@Pasar Senen 18 januari 2001
Pojok Rell Stasiun Kereta Manggarai 20 Januari 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar