Rabu, 18 Januari 2012

Sosok Bersahaja Itu.....

 Gambar diambil dari sini



: untuk Pak Dirman

"kenapa pahlawan mati muda bunda?" sorang anak kecil bertanya polos pada bundanya sambil menyorongkan sebuah buku biografi pahlawan,santun dan lembut, "ia tidak mati anaku, namun ia hidup dimasing masing hati penerusnya" jawab bunda lembut, lembut berbalas lembut dan diterima sang anak dengan mata terkagum pada keterangan bunda atau malah ia sibuk mengartikan?
  
        Soedirman laki laki besar namun sederhana itu mati muda, setidaknya diusia beliau wafat yang 34 tahun masa hidupnya masih tepat dibilang muda [lahir di Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 – meninggal di Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950]

          Namun jasa besar beliau tak seperti umurnya yang singkat, bahkan TBC atau penyakit lain bisa saja menggerogoti tubuhnya tapi tidak jiwanya, ah betapa besar engkau Jendral! Apa yang bisa menyurutkan juangmu? Tiada! jawabmu pasti, meski berbisik pelan namun getar nada itu tegas, sangat tegas.

   
          Pun patung Soedirman [Sang Jendral itu betapa hangat tulus bahkan ketika berbalas surat dengan Presiden Pangti ABRI ia acapkali menyebut Kanda, sedang Presiden sendiri membalasnya tak kalah halus,dinda] Patung tersebut tak ada kesan lebih digagah gagahkan atau selayak patung patung kepahlawanan megah dan berwibawa, Soedirman tetap sosok sederhana berjas tua panjang berperut tipis tanpa sedikitpun gelambir lemak, tanpa tonjolan tonjolan otot simbol hero serta ikat kepala yang biasa biasa saja menjurus lusuh. Patung berukuran 12 meter itu terdiri atas; tinggi patung 6,5 meter dan penyangga 5,5 meter, terletak di kawasan Dukuh Atas, di tengah ruas jalan yang membelah Jalan Sudirman dan berbatasan dengan Jalan Thamrin. Ia tak menggertak tak menggeram laksana singa, ia menyapa lembut sesiapa yang melintas, selembut ketika berpamit pada bunda ketika berangkat gerilnya,"sampun nggih biyung, kula pangkat" lembut tapi menghasilkan do'a teguh, atau ketika disambut sang Presiden sepulang gerilya ,lembut sahaja pelukan sang Jendral, tanpa airmata, tanpa menyombongkan keberhasilan!

          Betulkah patung mesti gagah tengadah dan angkuh,menggeram heroik serta aum? Simbol tentu disesuaikan dengan keberadaan penyimbol itu sendiri. Atau sekali lagi seperti lakon lakon entah komedi entah nyata,tentang sekelompok orang berdasi wangi mengkilap didampingi para istri yang berdandan seakan toko perhiasan berjalan tak kalah wangi mentereng diperjamuan hotel berbintang sambil menikmati steak terbaik bebicara tentang kesederhanaan?

          Ah mungkin selamanya Jendral besar itu akan jadi simbol bagi kesederhanan yang memancarkan hangatnya keseluruh penjuru,bahwa kemenangan tak harus hingar bingar [menang tanpa ngasorake] :ia punya daulat penuh bagi dirinya sendiri sehingga tak terjerabab kedalam carut marut duniawi.Bahwa kekayaan bukan pundi pundi emas [sugih tanpo bondo]: ia sanggup menguasai diri hingga tak pernah berkesan menggurui.Bahwa selayaknya meneguhkan bakti tanpa tuntutan tahta,sehingga yang tersentilpun tak menjadi lari lintang pukang,akan tetapi akan mempunyai rasa malu walau mungkin diam diam dan kemudian memperbaiki diri [sekti tanpo aji]

          Keluhuran dan kemuliaan memang pantas,sangat sangat pantas bagi dirinya.

September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar